Ali Bersama Nabi dalam Peperangan

A. Ali di Perang Badar

Dengan melakukan Hijrah, Nabi telah membuka ufuk

baru dalam sejarah manusia secara umum dan sejarah dakwah

Islam secara khusus. Hijrah adalah permulaan bentuk sebuah

negara, dan semakin jelasnya kekuatan kaum Muslim. Di sisi

lain, Quraisy dan kaum musyrik Madinah seperti Yahudi

dan kaum munafik yang berpura-pura menjadi Muslim

menutupi rencana rahasia mereka menghancurkan Islam

dan pengikut-pengikutnya. Namun, mereka salah menebak

akan sikap Nabi. Beliau menyelesaikan masalah-masalah

yang muncul dengan bijaksana. Tentu saja, beliau tidak

akan mungkin mengambil sikap seperti orang yang lemah

di hadapan rencana busuk musuh-musuh Islam. Untuk

menanggulangi hal itu, terkadang beliau mengirimkan

sekelompok pasukan kecil melakukan manuver untuk

menakut-nakuti mereka.

Letak kota Madinah sangat strategis. Madinah berada

pada lalu-lintas para pedagang yang menghubungkan

Jazirah Arab. Dengan semakin bertambah jumlah kaum

Muslim, mereka patut diperhitungkan oleh pedagangpedagang

yang mempergunakan Madinah sebagai rute

perdagangannya.

Sejak Ali bin Abi Thalib menjejakkan kakinya di

kota Madinah, dimulailah pembangunan di segala bidang

yang dituntut oleh dakwah Islam. Ali selalu bersama-sama

Rasulullah saw; membangun negara dan mengembangkan

dakwah Islam. Tentunya, ini semua dapat dilakukannya

karena inayah Allah kepadanya. Segala kekuatan yang

diberikan kepadanya dimanfaatkan untuk kepentingan

agama yang sulit dilakukan oleh orang lain, bahkan oleh

sejumlah orang secara bersama-sama.

Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah baju perang

pemberian Nabi. Ini menjadi sebuah petanda penting di

setiap peperangan yang diikutinya. Selayaknya, setiap

peperangan paling penting yang diikuti oleh sebuah

negara adalah yang pertama kali dilakukan.

Siapa yang muncul sebagai pemenang akan menjadikan peperangan

adalah keuntungan baginya. Demikian ini terjadi dalam

perang Badar. Perang Badar dapat dikatakan sebagai awal

keruntuhan segala kekuatan militer di Jazirah Arab secara

umum, dan Quraisy secara khusus. Di sisi lain, perang Badar

adalah pembukaan kemenangan-kemenangan yang diraih

oleh kaum Muslim.

Diriwayatkan bahwa kedua bersaudara Utbah dan

Syaibah bin Rabiah disertai Walid bin Utbah dalam

perang Badar mewakili Quraisy untuk berduel dengan

kaum Muslim. Pada awalnya, pihak kaum Muslim diwakili

oleh dua bersaudara Auf dan MuĘawwidz bin Afra disertai

Abdullah bin Rawahah. Ketiganya dari kaum Anshar.

Ketika ditanya oleh pihak Quraisy, „Siapa kalian? Mereka

menjawab, Kami dari kaum Anshar. Mereka kemudian

berkomentar, ÂKalian orang-orang mulia, sayangnya kami

tidak merasa berpentingan untuk berduel dengan kalian,

tidak ada gunanya. Kami ingin berduel dengan kaum kami

yang setara dengan kami.

Mendengar tantangan itu, Nabi memerintahkan

pamannya Hamzah dan Ubaidah bin Harits serta Ali untuk

berduel menghadapi mereka. Mereka kemudian saling

mendekat dan memulai peperangan. Ubaidah bin Harits

menghadapi Utbah. Hamzah berhadapan dengan Syaibah.

Sementara Ali ditantang oleh Walid. Hamzah tidak memberi

kesempatan lebih lama kepada Syaibah untuk menghirup

napas lebih lama. Hamzah membunuh Syaibah. Ali juga

membunuh Walid. Sementara itu, Ubaidah dan Utbah

telah berhasil melukai lawannya masing-masing sebanyak

dua kali. Melihat keadaan itu, Ali dan Hamzah secepatnya

mendekati Utbah dan membunuhnya.

Duel terhenti dengan kemenangan pihak Muslim.

Setelah itu, peperangan kedua belah pihak tidak terelakan

lagi. Peperangan antara dua kekuatan perang yang tidak

seimbang. Pasukan kaum Muslim berjumlah 313 orang

yang berperang dengan penuh keimanan untuk membela

akidah dan melindungi kebenaran yang telah memanggil

mereka ke jalannya. Pada kesempatan itu, ada faktor lain

yang membantu semangat kaum Muslim.

Faktor tersebutadalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi untuk menguatkan

dan menambah keberanian kaum Muslim. Kemantapan

sikap Nabi, keberanian Hamzah, kekuatan Ali dan para

pahlawan kaum Muslim yang terus mendesak pasukan

Quraisy. Ini semua seakan-akan membuat mereka lupa

akan diri dan banyaknya jumlah pasukan musuh. Terlihat

kepala-kepala yang mulai terpisah dari badannya. Allah

memberikan bantuan kepada kaum Muslim dengan

kekuatan, kepastian dan kemantapan. Hasilnya, kaum

Muslim mampu menawan sejumlah orang yang tidak

mampu melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka

yang ditawan berjumlah 70 orang. Sementara yang terbunuh

dari Quraisy berjumlah 72 orang.

Disebutkan dalam riwayat bahwa di antara kaum

Muslim yang paling banyak membunuh musuh adalah Ali

bin Abi Thalib. Ia sendiri berhasil membunuh sekurangkurangnya

16 orang dan ikut serta bersama yang lain

membunuh 28 orang lainnya. Tampaknya, kebanyakan

mereka yang dibunuh oleh Ali terhitung para pahlawan dan

tokoh Quraisy.

Diriwayatkan, ada seorang dari Bani Kinanah menemui

Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bertanya padanya,

„Apakah kamu ikut dalam perang Badar? Ya, jawabnya.

Bila demikian, ceritakan padaku apa yang kau saksikan

dalam perang Badar!, pinta Muawiyah.

Ia kemudian bercerita, Kami berada di medan perang

namun sepertinya tidak sepenuhnya berada di sana. Pada

awalnya, kami tidak yakin akan dapat memenangkan

peperangan. Yang ada hanya keraguan dapat menang.

Muawiyah tidak sabar. Ia kembali meminta untuk diceritakan

apa yang disaksikannya sambil berkata, Gambarkan

kepadaku apa yang kau lihat!, perintah Muawiyah.

Ia memulai ceritanya, Aku melihat Ali bin Abi Thalib

sebagai anak muda yang gagah berani, dan sangat kuat.

Ia mendobrak pertahanan musuh. Tidak ada yang dapat

bertahan di hadapannya kecuali pasti terbunuh. Bila ia

memukul sesuatu pasti akan hancur dan mati. Saat itu, aku

tidak melihat seseorang yang paling mengorbankan dirinya

seperti Ali bin Abi Thalib. Ia menyerang dan maju ke depan.

Matanya dengan tajam menyapu bersih musuh yang ada.

Ali bagaikan serigala yang siap menerkam mangsanya. Seakanakan

ia mempunyai mata lagi di belakang kepalanya. Ia melompat menerkam musuh-musuhnya dengan sangat liar.

B. Ali di Perang Uhud

Kaum Quraisy masih belum bisa melupakan kekalahan

yang dideritanya dalam perang Badar. Pada perang Badar,

banyak tokoh-tokoh Quraisy yang terbunuh. Para pahlawan

perang yang dibanggakan oleh mereka pun banyak yang

tewas. Mengingat-ingat kekalahan ini memunculkan

keinginan yang sangat kuat untuk membalas kekalahannya

dan mengembalikan reputasinya di kalangan bangsa Arab

yang hilang setelah kekalahan di perang Badar. Tidak lebih

setahun dengan propaganda yang matang, mereka telah

mampu mengumpulkan pasukan yang cukup besar. Para

sekutu Quraisy seperti orang-orang musyrik dan Yahudi

turun tangan ikut membantu. Kali ini, semua kebencian

bersatu untuk ditumpahkan ke atas pasukan Islam.

Mereka sepakat. Kekuatan kebatilan telah bersatu untuk

memerangi kebenaran. Pasukan Quraisy dan sekutunya

bergerak menuju Madinah dengan kekuatan 3000 pasukan.

Pergerakan mereka menuju Madinah dimulai pada awalawal

bulan Syawal tahun ketiga Hijrah.

Pergerakan pasukan Quraisy diketahui oleh Nabi.

Rasulullah saw kemudian mengumpulkan kaum Muslim

dan bermusyawarah dengan mereka untuk mengambil sikap

dan strategi yang tepat. Nabi berpidato di hadapan kaum

Muslim mengajak mereka untuk berperang, kesabaran dan

kemantapan hati. Nabi memberikan janji bahwa dalam

peperangan ini sekali lagi kita akan menjadi pemenangnya

sekaligus mendapat pahala. Kaum Muslim kemudian

mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluar berperang.

Jumlah mereka sekitar 1000 orang pasukan lebih sedikit.

Nabi memberikan panji perangnya kepada Ali bin Abi

Thalib. Panji-panji lainnya dibagikan kepada tokoh-tokoh

Muhajirin dan Anshar. Di sini, muncul sikap munafik dari

sebagian pasukan yang pada gilirannya berdampak pada

melemahnya kekuatan pasukan Muslim. Di pertengahan

jalan, Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya kembali

pulang ke Madinah dan urung untuk ikut berperang.

Jumlah mereka sekitar tiga ratusan orang.

Kondisi itu tidak menurunkan semangat Nabi dan yang

lainnya. Mereka tetap melanjutkan perjalanannya hingga

sampai ke Bukit Uhud. Nabi menyiapkan pasukannya

untuk bertempur. Ia membuat rencana yang paling tepat

dan jitu untuk menghadapi peperangan dan dapat meraih

kemenangan. Beliau menyiapkan 50 pasukan pemanah di

balik gunung untuk berjaga-jaga jangan sampai ada pasukan

yang menyerang dari arah belakang. Ia mewanti-wanti

mereka untuk tidak meninggalkan posisi ini. Mereka harus

tetap di situ sekalipun semua kaum Muslim terbunuh.

Kaum Quraisy tiba di Uhud. Pasukan disiapkan untuk

berperang. Pasukan Quraisy dibagi menjadi beberapa

bagian dan memiliki tugas sendiri-sendiri. Bendera perang

Quraisy diberikan kepada Bani Abdud-Dar. Yang pertama

memegang bendera perang itu adalah Thalhah bin Abi

Thalhah. Ketika Nabi mengetahui bendera Quraisy di

tangan Thalhah, beliau segera mengambilnya dari tangan

Ali bin Abi Thalib dan menyerahkannya kepada Mushab

bin Umair. Ia juga dari Bani Abdud-Dar. Panji perang itu

tetap bersamanya hingga ia terbunuh. Setelah ia terbunuh,

panji dikembalikan kepada Nabi yang kemudian diserahkan

kembali kepada Ali. Perang Uhud terjadi di bulan Syawal

tahun ketiga Hijrah.

Setelah persiapan peperangan telah sempurna, perang

dimulai ketika pembawa bendera Quraisy Thalhah bin

Abi Thalhah maju sambil membawa bendera. Ia termasuk

salah satu jawara dalam medan pertempuran. Ia maju ke

depan kaum Muslim sambil berteriak menantang mereka

sekaligus memberi semangat pasukannya. Ia berkata,

„Wahai sahabat-sahabat Muhammad! Bukankah kalian

beranggapan bahwa Allah dengan pedang kalian dapat

memercepat kami memasuki pintu neraka, sementara

pedang kami dapat mengantarkan kalian lebih cepat

memasuki surga?! Apakah ada di antara kalian yang sudah

tidak sabar memasuki pintu surga dengan pedangku ini,

atau ada yang ingin membuatku cepat-cepat masuk neraka

dengan pedangnya?

Ali keluar dari barisan pasukan memenuhi tantangannya.

Mereka berdua berdiri di antara pasukan masing-masing,

sementara Nabi menyaksikan jalannya perang tanding

ini sambil duduk di atas tikar yang disiapkan untuknya.

Nabi mengawasi pertempuran sambil mewaspadai dan

mengawasi dengan teliti gejolak yang terjadi di sekitar

medan pertempuran. Terlihat Ali mengayunkan pedangnya

ke arah kaki Thalhah memisahkan kakinya dari badannya.

Setelah kakinya terpotong oleh tebasan pedang Ali,

Thalhah kemudian terjatuh. Berbarengan dengan jatuhnya

Thalhah bendera yang bersamanya pun terjatuh. Ali segera

berlari secepatnya ke arah Thalhah. Namun, apa yang

terjadi? Thalhah membuka pakaian bagian bawahnya dan

memerlihatkan kemaluannya. Ia lalu bersumpah atas nama

Allah dan kasih-sayang-Nya. Melihat gelagat Thalhah,

Ali langsung meninggalkannya. Rasulullah saw kemudian

mengucapkan takbir yang kemudian diikuti oleh para

sahabat. Semua bergembira dengan duel yang dimenangkan

Ali bin Abi Thalib.

Melihat Thalhah terjatuh, adiknya, Usman bin Abi

Thalhah segera maju ke depan mengambil bendera. Hamzah

bin Abdul-Muththalib maju menyerangnya dan berhasil

membunuhnya. Duel belum berhenti, saudara lain mereka

yang bernama Abu SaÂid segera mengambil bendera Quraisy,

namun Ali tidak membiarkannya. Ali maju menyerangnya

dan kemudian membunuhnya. Arthah bin Syurahbil

berusaha menyelamatkan bendera Quraisy, namun, lagi-lagi

Ali maju menghadangnya dan melakukan duel. Ali berhasil

membunuhnya. Begitulah seterusnya hingga sembilan orang

dari pihak Quraisy yang berniat mengambil bendera dari

tangan Bani Abdud-Dar dan Ali dan Hamzah dengan

gagah perkasa membunuh kesembilan orang tersebut.

Orang terakhir dari Bani Abdud-Dar yang memegang

bendera Quraisy adalah seorang pemuda yang biasa dipanggil

as-Shawab. Ali menyerang dan kemudian membunuhnya.

Bendera terjatuh di tengah medan pertempuran. Tidak

ada satu pun dari puhak Quraisy yang berani untuk

mengambilnya. Orang-orang Quraisy mulai dihinggapi

rasa ketakutan. Semangat berperang pun mulai luntur.

Kaum musyrik mulai merasa bahwa mereka akan terbunuh

dan kaum Muslim akan menguasai wanita-wanita mereka.

Peperangan pun dimulai namun seakan-akan peperangan

akan berpihak pada kemenangan kaum Muslim.

Kemenangan yang sudah di depan mata kemudian

berubah menjadi sebuah malapetaka yang besar bagi kaum

Muslim. Para pasukan pemanah yang disiapkan Nabi di

atas bukit untuk menangkal pasukan yang akan datang

dari belakang turun meninggalkan posisi mereka. Mereka

turun untuk ikut serta dengan kaum Muslim lain yang

tengah memungut harta rampasan. Di atas bukit yang

tersisa hanya sepuluh pasukan pemanah.

Khalid bin Walid, komandan pasukan berkuda Quraisy,

melihat bahwa bukit telah kosong dari pasukan pemanah.

Yang tinggal hanya beberapa orang saja di sana. Ia kemudian

mengajak pasukannya menyerang para pasukan pemanah

yang masih tinggal dan kemudian membunuh mereka

semuanya. Ikrimah adalah salah seorang yang ikut dalam

pasukan Khalid. Setelah berhasil melumpuhkan pasukan

pemanah kaum Muslim, kekuatan berbalik menguntungkan

Quraisy. Peperangan pun berpihak ke Quraisy. Mereka

mampu menekan dan mengobrak-abrik barisan kaum

Muslim. Kenyataan ini laksana sebuah tragedi besar yang

pernah dialami kaum Muslim dan sulit untuk dilupakan.

Kaum Muslim terombang-ambing seakan-akan kebenaran

mereka telah lenyap. Mundur dan kehancuran setelah

kemenangan. Kaum Muslim lari berhamburan tidak karuan.

Para sahabat meninggalkan Nabi, menyerahkannya seorang

diri kepada musuh. Itu juga setelah Hamzah, paman Nabi,

terbunuh bersama Mushab bin Umair. Hanya tertinggal

beberapa orang dari Muhajirin dan Anshar yang bersama

Nabi. Salah satunya adalah Ali.

Pada kondisi yang sangat kritis ini, sejarah menyatat

peran penting dan pengorbanan seorang Ali kepada

Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib berusaha sekuat tenaga

melindungi Nabi. Yang ada dalam pikirannya adalah

bagaimana Nabi dan Islam bisa selamat. Ia memegang

panji perang di satu tangannya dan pedang di tangannya

yang lain. Ia berusaha menahan pasukan yang menyerang

Nabi sekaligus membubarkan mereka. Ia seorang diri bak

sebuah pasukan yang terlatih dan dengan persiapan yang

matang. Rasulullah saw setiapkali melihat ada segerombolan

pasukan yang hendak menyerangnya, memerintahkan Ali

untuk menyerang mereka.

Ali secepat kilat mengarahkan pedangnya kepada mereka dan memorak-porandakan

pasukan itu. Ia senantiasa berperang sehingga terlihat

bagaimana ia menderita luka-luka yang banyak. Darah

bercucuran dari wajah, kepala, dada, perut dan kedua

tangannya.

Pada saat itu, Jibril as turun kepada Nabi dan berujar,

„Apa yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib adalah sebuah

keserupaan Rasulullah saw kemudian berkata, Ia (Ali)

dariku dan aku darinya. Jibril as kemudian menambahkan,

ÂDan aku dari kalian berdua. Setalah itu, mereka yang hadir

pada waktu itu mendengar suara dari langit yang berkata,

ÂTidak ada pedang seperti Zulfikar dan tidak ada seorang

pemuda bagaikan Ali.

Dengan pengorbanan yang sulit diucapkan, Ali bin Abi

Thalib berhasil melindungi keselamatan Nabi. Pengorbanannya

membuat kekuatan menjadi seimbang. Tidak ada dari kedua

pasukan yang menang secara mutlak.

Kondisi-kondisi pasca Perang Uhud

Abu Sufyan tidak lagi melanjutkan peperangan.

Ia dan pasukannya kembali ke Mekah. Rasulullah saw

meng utus Ali dan berkata, „Pergilah, ikuti jejak musuh

itu. Perhatikan apa yang dilakukan mereka! Bila mereka

masih menuntun kuda namun mengendarai unta, maka

mereka pasti menuju Mekah. Namun bila sebaliknya,

yaitu mereka mengendarai kuda dan menuntun unta, itu

artinya mereka sedang menuju Madinah.

Setelah melakukan penyisiran jejak maka Ali pun

datang menghadap Rasulullah saw dan melapor, ÂAku

keluar menelusuri jejak mereka. Mereka menuntun kuda

dan menaiki unta menuju Mekah.

Nabi kembali ke Madinah. Sesampainya di sana, beliau

menyerahkan pedangnya kepada putrinya Fathimah seraya

berkata, ÂPutriku, cucilah pedang ini dari darah yang masih

melekat! Sesampainya Ali bin Abi Thalib, ia menyerahkan

pedangnya ke Fathimah. Darah menutupi tangannya hingga

bagian pundak. Rasulullah saw berkata kepada Fathimah,

ÂWahai Fathimah! Sambutlah Ali. Suamimu telah melakukan

apa yang seharusnya dilakukan. Dengan pedang itu, ia telah

membunuh para tokoh dan pahlawan Quraisy.

Perang Uhud adalah perang yang sangat berat dan

kelam bagi kaum Muslim. Perang yang sulit. Namun di

samping kesulitan yang dihadapi, dapat disaksikan peran

penting Ali bin Abi Thalib yang tidak dapat dipungkiri.

Dalam perang Uhud, peran dan posisi Ali menduduki

tempat tersendiri yang tidak dimiliki oleh sahabat yang

lain dan hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Ali adalah yang memegang panji perang Nabi. Panji

perang itu tidak pernah jatuh, sekalipun sebagian besar

kaum Muslim telah melarikan diri dari medan pertempuran.

2. Ali membunuh para pembawa bendera perang kaum

musyrik yang mencoba menghadapinya. Ini me nunjukkan

pengalaman militer dan keberanian yang luar biasa.

Akibatnya adalah Ali mampu menggedor dan memorakporandakan

barisan musuh sekaligus penyebab kelemahan

pasukan musuh di awal peperangan.

3. Keteguhan hati Ali untuk tetap berperang di samping

Rasulullah saw dan tidak ikut melarikan diri dari medan

peperangan setelah sebagian besar sahabat melarikan diri.

Ini menunjukkan keimanan absolut Ali pada Nabi untuk

memenangkan peperangan yang telah mengkristal dalam

dirinya.

4. Ali adalah pelindung Rasulullah saw dari seranganserangan

kaum musyrik yang hendak membunuh Nabi.

Ali bak tameng melindungi Nabi agar tidak ada yang

dapat maju mendekati beliau. Ini menunjukkan kebesaran

cintanya kepada Nabi dan keinginannya yang begitu

besar akan keselamatan Nabi.

5. Sebagian besar orang Quraisy yang terbunuh jatuh di

tangan Ali. Ini sebagai bukti atas tekad aktivitasnya di

medan pertempuran, kekuatan dan keberaniannya.

6. Moral dan nilai-nilai yang mulia yang dipraktikkan

Ali di medan perang ketika meninggalkan Thalhah bin

Abi Thalhah yang membuka auratnya karena nilai-nilai

kehormatan.

7. Ali adalah yang paling dekat dengan Rasulullah saw,

yang senantiasa bersamanya sehingga beliau memintanya

untuk menghalau para penyerang. Ali juga yang

menangkap tangan Nabi ketika terjatuh di salah satu

galian perangkap yang sengaja digali oleh Abu Amir

Rahib. Ali juga yang membawakan air kepada Nabi yang

dipakai untuk mencuci darah dan tanah dari wajah dan

kepalanya.

8. Ali menderita banyak luka-luka karena usaha kerasnya

melindungi Nabi, namun oleh Nabi ia masih juga

diutus untuk menelusuri jejak Quraisy yang tidak

melanjutkan lagi peperangan dan kembali ke Mekah. Ali

harus melakukan itu untuk mengetahui apakah benar

mereka kembali ke Mekah atau jangan-jangan hendak

ke Madinah. Ini menunjukkan kepercayaan Nabi yang

besar kepadanya dan kekuatan serta ketelitiannya. Ali

mampu untuk menyikapi kejadian yang terjadi tiba-tiba.

Peperangan belum selesai dengan mundurnya pasukan

Quraisy.

C. Ali bin Abi Thalib di Perang Khandaq

Kaum Quraisy dalam usahanya untuk menghancurkan

Islam terlihat lemah. Keadaan ini tampak jelas, akan tetapi

kejahiliahan, kebencian dan penegasan untuk tetap berjalan

di jalur kekafiran membuat Quraisy untuk yang ke sekian

kalinya menyiapkan pasukan untuk sebuah peperangan

besar yang sangat menentukan. Hal ini dapat dilakukan

dengan mengadakan perjanjian dengan kabilah-kabilah

Jahiliah lainnya selain dengan Yahudi. Perjanjian yang

dilakukan oleh Quraisy berhasil mengumpulkan jumlah

pasukan sebesar sepuluh ribu. Pasukan ini dipimpin oleh Abu

Sufyan. Quraisy menjadi bertambah geram ketika menemui

taktik dan siasat perang kaum Muslim berubah. Kali ini,

strategi dan pertahanan kaum Muslim berbeda dengan

yang sebelumnya. Rasulullah saw mencoba taktik bertahan

setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Salman Farisi

mengusulkan untuk menggali parit. Quraisy dengan jumlah

pasukan sebesar itu membuat mereka lupa dan menganggap

kekuatan mereka tidak mungkin terkalahkan. Mereka

pasti dapat mengalahkan kaum Muslim dan melenyapkan

mereka untuk selamanya dari muka bumi.

Sebagian pasukan berkuda dapat melewati parit yang

lebih sempit dari tempat yang lain. Pasukan berkuda

kemudian berhadap-hadapan dengan kaum Muslim.

Ketakutan merasuki kaum Muslim. Ali bin Abi Thalib maju

dan keluar dari kelompok pasukan Muslim menutupi jalan

pasukan berkuda sehingga kelihatannya mereka kesulitan

mengendalikan kudanya, dan barisan mereka agak cekung

ke dalam.

Amr bin Abdi Wud menantang kaum Muslim untuk

berduel. Tantangannya serta-merta membuat riuh rendahnya

suara kaum Muslim menjadi senyap seketika. Kepalakepala

tertunduk seakan-akan ada burung yang bertengger

di atas kepala mereka. Setiap yang hadir berpikir tentang

dirinya. Seribu pikiran di kepala untuk mengambil

keputusan melawan Amr.

Rasulullah saw memecah keheningan dengan bertanya

kepada sahabat-sahabatnya, „Apakah ada yang mau berduel

dengan Amr? Ali siap untuk berduel dengan Amr dan

meminta kepada Rasulullah saw agar ia yang maju melawan

Amr. Nabi menyarankan Ali untuk diam di tempat. Nabi

kembali mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Untuk

kali kedua dan ketiga, Ali jugalah yang mengacungkan

tangan untuk diizinkan berduel dengan Amr. Selain Ali,

tidak seorang pun yang menawarkan diri untuk maju

berduel dengan Amr. Pada kali kedua dan ketiga itu juga

Nabi meminta Ali untuk tidak bergerak dari tempatnya.

Pada kali keempat, akhirnya Nabi mengizinkan Ali untuk

berduel dengan Amr.

Sebelum maju menghadapi Amr, Nabi memakaikan

sorbannya ke kepala Ali dan menyiapkan pedangnya untuk

dipakai Ali serta memakaikan Ali pakaian perangnya.

Setelah itu, Nabi mengangkat tangannya ke atas seraya

berdoa, „Ya Allah! Engkau telah mengambil Ubaidah di

perang Badar dan Hamzah di perang Uhud. Kali ini yang

akan maju adalah Ali bin Abi Thalib, saudaraku dan putra

pamanku. Kumohon agar Engkau tidak membiarkanku

sendirian. Engkau adalah sebaik-baik Pewaris.

Ali bin Abi Thalib maju ke tengah medan tempur untuk

berduel setelah Nabi berucap, „Seluruh keimanan tengah

berhadapan dengan seluruh kesyirikan.

Ali bergerak menuju Amr dengan kepercayaan mutlak

akan kemenangan yang memenuhi hatinya. Amr yang

tidak menyangka akan berhadapan dengan Ali yang

akhirnya membuatnya agak ragu untuk bertarung. Melihat

keadaan Amr yang agak bimbang, Ali berkata kepadanya,

ÂWahai Amr! Pada masa Jahiliah, engkau pernah berkata

bahwa siapasaja yang meminta tiga hal padamu pasti akan

kau kabulkan setidak-tidaknya satu dari permintaan.

ÂBenarkah apa yang kau katakan itu, jawab Amr.

Ali kemudian menyambung, ÂAku mengajakmu untuk

bersaksi bahwa tidak tuhan kecuali Allah. Muhammad

adalah utusan Allah. Serahkanlah dirimu menjadi Islam di

hadapan Tuhan pengatur alam. Amr menjawab, ÂJangan

kau tawarkan yang seperti ini. Biarkan ini menjadi tawaran

yang terakhir. Apa yang kutawarkan padamu adalah yang

terbaik bagimu bila engkau menerimanya, tambah Ali.

Amr geram dan berkata, Kembalilah engkau ke tempat

asalmu! Engkau tidak boleh sama sekali berbicara seperti

itu kepada wanita-wanita Quraisy apa lagi kepadaku.

Akhirnya Ali menambahkan, Bila demikian, turunlah dari

kudamu dan lawanlah aku!

Mendengar ucapan terakhir Ali, Amr menjadi sangat

marah. Ia turun dari kudanya kemudian melukainya.

Amr berjalan ke arah Ali dan akhirnya duel pun dimulai.

Amr mengayunkan pedangnya yang ditangkis oleh Ali

dengan tamengnya. Setelah itu, dengan cepat dan dengan

kekuatan penuh Ali menghantam kepala Amr. Pukulan

Ali ini mengenai kepala Amr hingga melukai bahunya

dan ia pun terjatuh ke tanah dan darahnya membasahi

bumi. Setelah memenangkan duel, Ali kemudian dengan

suara lantang mengucapkan suara takbir yang kemudian

diikuti oleh kaum Muslim. Apa yang terjadi di medan

pertempuran menjadi jelas dengan jatuhnya Amr. Pasukan

yang menyertai Amr dengan menyaksikan apa yang terjadi

dihinggapi rasa takut yang membuat mereka kemudian

lari meninggalkan gelanggang duel. Ali mengejar mereka.

Naufal bin Abdillah terjatuh ke dalam parit. Ali turun ke

bawah dan membunuhnya.

Setelah mengetahui apa yang terjadi dalam duel

itu, pasukan koalisi diliputi rasa heran yang luar biasa.

Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa ada seorang

yang menghadapi Amr bin Abdi Wud bahkan sampai

membunuhnya. Kejadian ini memang membuat mereka

tidak ada yang berani untuk berusaha melewati parit dan

menantang duel. Yang dapat dilakukan oleh mereka saat ini

adalah tetap di tempat mengepung kota Madinah untuk

beberapa waktu sehingga dengan izin Allah mereka kalah.

Itu terjadi setelah Rasulullah saw mencoba taktik lain

dalam perang kali ini.

Di sini ada beberapa poin yang menunjukkan kelebihankelebihan

yang dimiliki Ali bin Abi Thalib dalam perang

Khandaq:

1. Inisiatif Ali melindungi ruang kosong yang dipakai

oleh Amr bin Abdi Wud dan teman-temannya setelah

melompat melewati parit. Ini menunjukkan kewaspadaan

dan cepat mengambil keputusan atas kejadian-kejadian

tak terduga di medan pertempuran.

2. Duel Ali dengan Amr bin Abdi Wud yang diakhiri dengan

kemenangan Ali dan terbunuhnya Amr. Pada awalnya,

kaum Muslim ragu untuk melakukan duel dengan Amr

yang pada akhirnya tidak satu pun yang berani maju

menjawab tantangan Amr. Oleh karenanya, Rasulullah

saw memuji apa yang dilakukan oleh Ali dalam duel

perang Khandaq dengan ucapannya, „Duel Ali bin Abi

Thalib berhadap-hadapan dengan Amr bin Abdi Wud

pada peperangan Khandaq lebih utama dari perbuatan

umatku hingga hari Kiamat.‰

3. Keberanian dan kekuatan yang luar biasa dari Ali yang

terjadi dalam perang Khandaq sangat jelas; di mana Amr

bin Abdi Wud dan sebagian pasukannya mampu melewati

parit dengan menunggangi kuda sementara Ali seorang

diri dengan berjalan kaki.

4. Nilai-nilai moral yang didemonstrasikan Ali di berbagai

kondisi membuatnya berbeda dengan yang lain. Ali

mengapresiasikan Islam dan ajaran Rasulullah saw dengan

sempurna. Salah satunya, ia tidak mengambil baju perang

Amr yang terkenal sebagai baju perang terbaik yang

dimiliki oleh orang-orang Arab.

5. Terbunuhnya Amr dan Naufal oleh Ali serta pengejaran

yang dilakukan terhadap sebagian pasukan lainnya yang

bersama Amr mengembalikan kepercayaan diri kaum

Muslim setelah melihat pasukan koalisi yang sangat

banyak jumlahnya. Hal itu pula yang menyebabkan

kekalahan kaum musyrik setelah diterpa angin yang

bertiup kencang dan suhu udara yang sangat dingin serta

rasa takut untuk kembali memerangi kaum Muslim.

6. Kemuliaan yang diraih oleh Ali sebagaimana ucapan

Nabi saw yang menjadi saksi untuk itu dalam duel yang

dilakukannya, „Seluruh keimanan tengah berhadapan

dengan seluruh kesyirikan.

D. Ali di Perjanjian Damai Hudaibiah

Setelah kejadian-kejadian yang sangat menyakitkan

dan pertumpahan darah dalam perang antara Nabi dan

kaum Muslim di satu pihak, dan Quraisy dan Yahudi di

pihak lain, dakwah Islam telah mampu meletakkan garisgaris

dakwahnya untuk jangka panjang. Rancanganrancangan

mampu menunjukkan eksistensi dan keberadaan

kaum Muslim sebagai sebuah kekuatan yang mandiri dan

harus diperhitungkan di segala medan.

Pada masa-masa itu, perlahan-lahan kaum Muslim

mulai merindukan KaÂbah. KaÂbah sebagai arah Kiblat

mereka setiapkali melakukan salat. Pada saat yang sama,

Nabi berkeinginan untuk melakukan kewajiban yang

telah diwajibkan oleh Allah, yaitu melakukan kewajiban

haji. Nabi mulai melakukan persiapan-persiapan yang

diperlukan untuk kepergiannya. Salah satu yang harus

dilakukannya adalah mengumumkan berkali-kali bahwa

kepergiannya tidak untuk berperang melawan Quraisy

atau siapasaja.

Kaum Quraisy mendengar rencana Nabi. Mereka sepakat

untuk menahan rencana Nabi memasuki Mekah, sekalipun

dengan cara memaksa. Akhirnya, diutuslah Khalid bin

Walid sebagai pemimpin rombongan tentara berkuda untuk

menahan Nabi agar tidak mewujudkan niatnya.

Nabi beserta kaum Muslim lainnya telah sampai di tempat

bernama Juhfah. Persediaan air telah habis, dan di tempat itu

tidak ditemukan air. Nabi memerintahkan beberapa orang

untuk mencari air. Namun mereka tidak dapat menemukan

air karena ragu dan takut dari serangan pasukan berkuda.

Pada waktu itu, Nabi memanggil Ali bin Abi Thalib untuk

mengambil air bersama beberapa orang. Orang-orang yang

bersama Ali tidak mau melakukannya karena tahu pasti

tidak akan menemukan air sebagaimana kelompok pertama

kembali dengan tangan kosong. Ali pergi mencari air hingga

tiba di satu tempat bernama Hirar dan menemukan air di

sana. Ia kembali menemui Nabi dan bersamanya sebuah anak

panah. Saat Ali tiba, Nabi langsung mengucapkan takbir dan

berdoa untuk kebaikan Ali.

Kaum Quraisy menekan dan memaksa Nabi beserta

rombongan untuk mengambil jalan lain agar tidak sampai ke

Mekah. Seorang dari kabilah Aslam berhasil mengarahkan

Nabi dan rombongan dari jalan yang sebenarnya dan

melalui jalan-jalan tandus. Akhirnya mereka keluar menuju

Tsaniyatul-Murad yang akhirnya tiba di tempat bernama

Hudaibiah. Beberapa kali Quraisy dengan pimpinan

Khalid bin Walid berusaha untuk mencari gara-gara dan

alasan untuk menyerang kaum Muslim. Melihat kenyataan

ini, Ali bersama beberapa orang yang kuat berusaha

untuk menghindari kontak senjata sekaligus melenyapkan

kesempatan Quraisy untuk menyukseskan tujuan-tujuan

permusuhan mereka.

Quraisy memaksa untuk melakukan negosiasi dengan

Nabi setelah mereka melihat bahwa keinginan kaum Muslim

tidak dapat dibendung lagi untuk memasuki Mekah.

Untuk itu, Quraisy mengirimkan delegasinya; Suhail bin

Umar dan Huwaithib dari Bani Abdul-ÂUzza. Tampaknya,

negosiasi ini tidak terbatas hanya pada masalah memasuki

kota Mekah pada tahun itu, melainkan ada masalah

masalah lain juga yang dibicarakan untuk kepentingan

kedua belah pihak.

Diriwayatkan bahwa Ali berkata, „Pada hari perjanjian

Hudaibiah, beberapa orang dari kaum musyrik

mendatangi kami dan berkata kepada Rasulullah saw,

Wahai Muhammad! Banyak orang yang lari dari Mekah

dan mengikutimu. Mereka terdiri dari anak-anak,

saudara dan kerabat-kerabatmu, sementara mereka tidak

mengerti apa itu agama yang engkau bawa. Mereka pergi

meninggalkan Mekah hanya karena ingin lari membawa

harta benda kami. Kembalikanlah mereka kepada kami!

Nabi saw menjawab, Seandainya memang benar apa yang

kalian katakan, kami akan memahamkan agama ini kepada

mereka. Nabi menambahkan, Wahai orang-orang Quraisy!

Berhentilah! Atau Allah akan mengirimkan seseorang yang

akan menebas leher-leher kalian dengan pedangnya. Ingat!

Allah telah menguji hatinya dengan iman. Kemudian Nabi

saw berkata, Orang itu adalah penjahit sandal. Nabi

pernah memberikan sandalnya kepada Ali untuk dijahit.

Setelah dicapai kesepakatan-kesepakatan antara

kedua belah pihak mengenai beberapa butir perjanjian

gencatan senjata, Nabi memanggil Ali seraya berkata

kepadanya, „Ali! Tuliskan: Bismilillahir-Rahmanir-

Rahim. Suhail segera memotong ucapan Nabi saw, Tentang

kata ar-Rahman, demi Allah, aku tidak tahu itu. Lebih

baik bila ditulis demikian: Bismika Allahumma. Kaum

Muslim serentak berkata, ÂKami tidak akan menulis selain

kata: Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Kemudian Nabi

memerintahkan Ali untuk menulis: Bismika Allahumma.

Lanjutannya, (Perjanjian) ini disepakati oleh Muhammad

utusan Allah. Lagi-lagi Suhail menyela, Bila sejak awal

kami meyakini engkau sebagai utusan Allah, niscaya tidak

akan kami halang-halangi niat kalian untuk melakukan

ziarah ke kota Mekah dan kami tidak pernah berperang

dengan kalian. Tulis Muhammad bin Abdillah! Nabi

menegaskan, Aku adalah utusan Allah sekalipun kalian

mendustakanku. Kemudian Nabi memerintahkan Ali bin

Abi Thalib, Hapuslah kata utusan Allah! Ali bin Abi

Thalib menjawab, Wahai Rasulullah! Tanganku tidak dapat

digerakkan untuk menghapus namamu dari kenabian.

Akhirnya, Rasulullah saw mengambil surat perjanjian

dan kemudian dengan tangannya sendiri menghapus kata

utusan Allah. Kemudian sambil menghadap Ali, Nabi saw

berkata, ÂKetahuilah wahai Ali! Apa yang terjadi saat ini

akan menimpamu suatu saat kelak dan engkau terpaksa

melakukan hal itu.

 

E. Ali di Perang Khaibar

Perjanjian Hudaibiah telah selesai. Nabi menjadi lebih

tenang akan kelanjutan dakwah Islam dari rencana-rencana

Quraisy dan sebagian kabilah-kabilah Arab sekitar

Jazirah Arab yang masih dalam kondisi musyrik. Hal ini

dikarenakan poin-poin perjanjian yang disepakati lebih

menguntungkan kaum Muslim. Di samping itu, perjanjian

Hudaibiah menumbuhkan dan menambahkan kekuatan

kaum Muslim dari sisi kuantitas dan kualitas. Banyak

yang kemudian masuk Islam.

Orang-orang Arab tahu betul bahwa Quraisy dengan menandatangani perjanjian

Hudaibiah berarti kekuatan dan kesombongannya telah

hilang. Rencana mereka untuk melenyapkan Islam dari

muka bumi telah menemui kegagalan. Oleh karenanya,

penandatanganan perjanjian artinya penerimaan akan

adanya Islam oleh Quraisy. Kekuatan yang masih

tertinggal dan mengganggu ketenangan Nabi adalah

kelompok yang sering menyebarkan fitnah dalam bentuk

kemunafikan dan kelompok-kelompok yang melanggar

perjanjian. Kelompok ini adalah sekelompok orang-orang

Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah. Nabi senantiasa

mengawasi mereka khawatir melakukan makar-makar

dengan bantuan pihak luar. Lebih-lebih dengan melihat

bahwa sepanjang sejarah, Yahudi terkenal sebagai kelompok

yang suka melanggar perjanjian. Oleh sebab itulah, Nabi

bersiap-siap untuk menyerang orang-orang Yahudi dan

benteng-benteng mereka yang kemudian dikenal dengan

nama perang Khaibar. Nabi memerintahkan para sahabat

untuk menyiapkan segala keperluan dengan cepat untuk

memerangi Yahudi Khaibar. Setelah persiapan selesai, semua

keluar dari kota Madinah dan panji perang pun berada

di tangan Ali bin Abi Thalib. Semua bergerak cepat dan

dengan sungguh-sungguh menuju Khaibar. Nabi dan para

sahabatnya sampai di Khaibar pada malam hari yaitu saat

di mana penduduk Khaibar tidak mengetahui kedatangan

kaum Muslim. Saat pagi tiba, penduduk Khaibar keluar

untuk melakukan aktivitasnya. Ketika melihat pasukan

Muslim, secepatnya mereka kembali dan tidak keluar dari

benteng.

Nabi melakukan pengepungan, membuat kondisi

mereka semakin terjepit dan membiarkan peperangan antara

kedua belah pihak di sekitar benteng-benteng yang ada.

Cara ini cukup berhasil menguasai beberapa benteng yang

ada. Pengepungan dilanjutkan terhadap benteng-benteng

lain yang belum ditaklukkan. Pengepungan ini berlangsung

hingga dua puluhan hari. Ada beberapa benteng besar dan

kuat yang masih berdiri tegak. Nabi mengirim Abu Bakar

dengan memberinya panji perang untuk menaklukkan

benteng-benteng itu. Abu Bakar kembali dengan tangan

hampa. Ia tidak berhasil melakukan apa-apa.

Keesokan harinya, Nabi mengutus Umar bin Khaththab untuk

melakukan tugas yang sama yang telah dilakukan oleh Abu

Bakar. Tampaknya nasib Umar bin Khaththab tidak berbeda

dengan Abu Bakar. Ia tidak berhasil melakukan apa-apa. Ia

kembali dengan tangan kosong, gagal. Ia menyebut sahabatsahabat

yang menyertainya sebagai pengecut. Para sahabat

tidak berdiam diri, mereka mengatakan hal yang sama

bahwa Umar bin Khaththab adalah seorang pengecut.

Rasulullah saw telah berusaha menyerahkan panji

perang sekaligus komandan pasukan kepada keduanya

namun akhirnya gagal juga. Ia mengutus yang lainnya lagi,

namun mundur teratur. Akhirnya, Nabi mengumumkan

dengan ucapannya yang terkenal dan mengandung makna

yang sangat dalam pada perang kali ini. Dengan suara

lantang yang didengar oleh seluruh kaum Muslim yang

hadir dalam perang Khaibar, Nabi saw berkata, „Besok,

aku akan memberikan panji perang kepada seorang yang

mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-

Nya mencintainya. Ia seorang pejuang yang gigih lagi

pantang mundur. Allah akan memenangkan pertempuran

ini dengannya. Malaikat Jibril akan berada di samping

kanannya dan Mikail berada di sisi kirinya.

Setiap orang yang hadir di perang ini sangat berharap

bahwa esok hari dialah yang bakal dipilih oleh Nabi. Umar

bin Khaththab sendiri berkata, „Aku selama ini tidak pernah

mengharapkan kedudukan kecuali pada hari ini. Aku sangat

berharap esok hari Nabi memberiku panji perang.

Keesokan harinya ketika matahari terbit, Nabi

berdiri dan mengumpulkan para sahabat untuk berbaris

dengan mengisyaratkan panji perangnya. Nabi kemudian

memanggil Ali. Dijawab oleh sebagian sahabat, „Wahai

Rasulullah! Matanya sakit. Nabi meminta kepada mereka

untuk membawa Ali ke hadapannya. Salamah bin Akwa

meninggalkan barisan menuju Ali dan kembali sambil

menuntun tangan Ali bersama-sama menemui Nabi,

sementara Ali menutup kedua matanya. Nabi meletakkan

kepala Ali di pangkuannya. Kemudian Nabi membasahi

kedua tangannya dengan air ludahnya yang kemudian

diusap ke mata Ali. Seketika itu pula mata Ali sembuh

dari sakitnya, seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya.

Setelah menyembuhkan sakit mata Ali, Nabi mengangkat

tangannya dan berdoa untuk Ali, „Ya Allah! Lindungi Ali

dari hawa dingin dan panas.

Nabi memakaikan baju perangnya kepada Ali dan

menyisipkan pedangnya „Zulfikar di tengah-tengah baju

perangnya. Setelah itu, Nabi memberikannya panji perang

dan memerintahkannya untuk segera pergi menuju benteng.

Nabi saw berkata, „Perintahkan pasukanmu hingga sampai

di depan benteng. Sesampainya di sana, ajaklah penghuni

benteng untuk memeluk Islam terlebih dahulu. Beritahu

apa yang menjadi kewajiban mereka di hadapan Allah. Demi

Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, bila ada seorang saja

yang mendapat hidayah dengan ucapanmu, atau ada seorang

yang diberi hidayah oleh Allah Swt lewat petunjukmu, itu

lebih baik dari sejumlah besar binatang ternak.

Salamah berkata, „Ali dengan cepat bergerak, sementara

kami mengikutinya dari belakang hingga tiba di depan

benteng. Ali menancapkan panji perang di atas batu di

bawah benteng. Orang-orang Yahudi yang berada di

atas benteng segera mengetahui akan kehadiran pasukan

Muslim. Mereka bertanya kepada Ali, Siapakah kau? Aku

Ali bin Abi Thalib, jawab Ali. Seorang Yahudi berkata

kepada teman-temannya, Kalian akan menang sebagaimana

kemenangan yang diberikan kepada Musa.

Penghuni benteng keluar. Orang pertama yang keluar

bernama Harits saudara Marhab. Harits terkenal akan

keberaniannya. Kaum Muslim agak mundur ke belakang. Ali

melompat menyambut Harits. Keduanya mulai ber tempur

yang pada akhirnya dimenangkan oleh Ali. Ali berhasil

membunuh Harits. Orang-orang Yahudi berebut masuk

kembali ke dalam benteng dalam ketakutan. Setelah itu,

keluarlah Marhab dengan memakai pakaian perang ber lapis

dua, dua buah pedang di tangannya dan memakai dua lapis

topi serta bersamanya sebatang anak panah bermata trisula.

Keduanya memulai duel. Mereka telah melakukan dua

kali pukulan ke arah lawan masing-masing. Ali kemudian

menghantamnya dengan pedang. Kain selempang Marhab

yang diikat di pahanya diganti dan diikat di kepala. Ali

berhasil mengoyak-ngoyak pakaian perang Marhab. Pukulan

Ali berhasil membelah kepala Marhab menjadi dua hingga

giginya.

Ketika orang-orang Yahudi menyaksikan apa yang

menimpa jawara penunggang kuda terhebat mereka Marhab

tumbang tak bernyawa lagi, serentak mereka berlarian masuk

kembali ke dalam benteng mereka dengan ketakutan yang

besar kemudian menutup pintu benteng.

Ali bersegera mendekati pintu benteng dan berusaha

untuk membukanya. Pasukannya yang berada di sisi parit

yang melingkari benteng tidak berani lewat bersama Ali. Ali

berhasil melepaskan pintu gerbang benteng dan meletakkan

di atas parit agar mereka berani menyeberanginya. Setelah

menyeberangi dan masuk benteng, kaum Muslim berhasil

menaklukkan benteng terkuat Yahudi Khaibar dan berhasil

mendapat harta pampasan perang yang banyak.

Diriwayatkan bahwa sejumlah orang berusaha untuk

menggerakkan pintu, tetapi tidak mampu.

Ibnu Amr berkata, „Kami sangat terheran-heran,

bagai mana Allah membuka benteng Khaibar melalui

tangan Ali. Namun kami lebih heran lagi bagaimana ia

dapat membombol pintu benteng dari tempatnya dan

melemparkannya ke belakang sejauh empat puluh dzira

(satu dzira sekitar delapan belas inci-peny.). Sekitar empat

puluh orang berusaha susah-payah untuk mengangkatnya

namun mereka tidak mampu. Lalu Nabi kemudian

memberitahukan tentang hal itu dengan ucapannya, „Demi

Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, ada empat puluh

malaikat yang telah menolong Ali.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib dalam salah

satu suratnya kepada Sahl bin Hanif, berkata, „Demi Allah!

Aku tidak membobol pintu Khaibar dan melemparkannya

ke belakang sejauh empat puluh dzira dengan kekuatan fisik

dan tidak karena makanan yang aku makan, melainkan aku

dibantu oleh kekuatan Ilahi dan jiwa yang diberi cahaya

oleh Pemiliknya yang terang-benderang. Aku dari Ahmad

(Muhammad) bak cahaya dari cahaya.

F. Ali dan Penaklukan Kota Mekah

Kondisi yang melingkupi kaum Muslim dan Quraisy

lebih tenang. Rasulullah saw berpegang-teguh dengan poin

poin perjanjian gencatan senjata. Sementara Quraisy memulai

melanggar perjanjian. Mereka beranggapan bahwa setelah

perang Mutah, kaum Muslim lebih lemah dari sebelumnya

akibat kekalahan yang dideritanya. Quraisy menganggap

remeh kaum Muslim. Hal itu diwujudkan dengan mencoba

menyerang koalisi Nabi dari Bani Khuzaah. Ia mengajak

koalisinya seperti Bani Bakar untuk menyerang Bani

Khuzaah. Terjadi pertempuran kecil di antara mereka. Bani

Bakar memenangi peperangan dengan bantuan Quraisy.

Perbuatan Quraisy dengan membantu Bani Bakar telah

melanggar perjanjian Hudaibiah. Artinya, Quraisy kembali

mengumumkan peperangan dengan kaum Muslim.

Setelah Nabi dapat memastikan pengkhianatan atas

perjanjian, bersiap-siap untuk menyerang Quraisy. Terkait

dengan masalah ini, Nabi mengucapkan kalimat yang

terkenal, „Aku tidak akan meraih kemenangan sebelum

menolong Bani Khuzaah. Nabi mulai mempersiapkan

segalanya untuk memerangi Quraisy, dan itu dilakukan

dengan diam-diam agar tidak diketahui oleh Quraisy.

Akan tetapi, salah seorang sahabat bernama Hathib bin

Abi Baltaah perlahan-lahan dan secara rahasia berusaha

menyampaikan kabar tersebut. Ia mengirim surat kepada

Quraisy lewat seorang wanita tentang apa yang direncanakan

oleh Nabi. Sebelum wanita utusan Hathib keluar dari kota

Madinah, wahyu turun kepada Nabi dan menjelaskan

tentang apa yang dilakukan Hathib. Nabi secepatnya

mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair untuk segera

mengejar wanita pembawa surat; bila menemuinya, mereka

harus mengambil kembali surat darinya sebelum segalanya

terlambat. Dengan cepat, keduanya keluar mengejar wanita

tersebut dan menemukannya beberapa mil dari Madinah.

Zubair mendekati wanita itu dan bertanya tentang surat.

Wanita utusan mengingkari sambil menangis. Zubair

melihat itu menjadi lemah dan tidak memaksanya lebih

lanjut. Ia kembali dan mengabari Ali bahwa wanita itu tidak

membawa apa-apa. Zubair mengajak Ali pulang dengan

membawa kabar yang terjadi.

Ali berkata, „Rasulullah saw memberitahu kita bahwa wanita itu membawa surat.

Engkau berkata bahwa ia tidak membawa apa pun. Ali

mengeluarkan pedangnya dan berjalan ke arah wanita

itu sehingga ia mengeluarkan surat tersebut. Ali kembali

kepada Nabi dan menyerahkan surat tersebut.

Setelah Nabi menyelesaikan segala persiapan yang

dibutuhkan untuk menguasai Mekah, beliau menyerahkan

panji perangnya ke tangan Ali bin Abi Thalib dan

membagikan panji-panji untuk setiap kabilah satu buah.

Setiap pemimpin kabilah memegang satu panji-panji. Nabi

dan seluruh sahabat akhirnya menuju Mekah.

Quraisy menyaksikan kekuatan kaum Muslim yang

sedemikian besar sehingga merasa tidak dapat lagi bertahan

di hadapan mereka. Tidak ada jalan lain kecuali menyerah.

Setiap orang harus masuk ke rumahnya masing-masing

untuk menyelamatkan diri sebagaimana pengumuman

yang disampaikan Nabi.

Diriwayatkan bahwa Sa’d bin Ubadah yang memegang

panji-panji dari kaum Anshar, ketika melewati Abu Sufyan

yang tengah berdiri di sebuah lembah yang sempit, jalan

menuju kota Mekah, Abu Sufyan bertanya, „Kabilah mana

ini? Orang-orang menjawab, Ini sahabat Nabi dari kaum

Anshar. SaÂd bin Ubadah adalah pemimpinnya. Ia yang

membawa panji-panji Nabi. Ketika berhadap-hadapan,

SaÂd berkata, Wahai Abu Sufyan! Hari ini adalah hari

pertempuran besar; hari dihalalkan apa yang haram. Hari

di mana Allah menghinakan Quraisy. Ketika Rasulullah

saw melewati Abu Sufyan dan berhadap-hadapan, Abu

Sufyan memanggil, Wahai Rasulullah! Apakah engkau

memerintahkan untuk membunuh kaummu sendiri? Sa’d

berbicara demikian ketika melewati kami. Ia akan membunuh

kami. Dia berkata, Hari ini adalah pertempuran besar! Aku

bersumpah padamu di hadapan Allah tentang kaummu,

engkau adalah manusia terbaik, paling penyayang dan yang

paling suka menyambung hubungan kekeluargaan.

Nabi saw berkata, Apa yang dikatakan Sa’d tidak benar.

Hari ini adalah hari kasih-sayang; hari Allah memuliakan

Quraisy, hari Allah memuliakan Ka’bah, dan hari KaÂbah

terlindungi (dari segala kebejatan).

Kemudian Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib kepada

SaÂd untuk mengambil panji-panji yang berada di tangannya.

Ali masuk kota Mekah dengan panji perang Sa’d dan juga

panji perang Nabi.

Akhirnya, Nabi memasuki Mekah dengan pasukan

besar yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh orangorang

Mekah dalam sejarahnya yang panjang. Panji perang

Nabi di tangan Ali dan mengumumkan, dari pintupintu

KaÂbah, amnesti umum kepada semua orang, tanpa

terkecuali.

Ali Naik ke Pundak Rasulullah saw untuk

Menghancurkan Berhala

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, „Aku

berjalan bersama Rasulullah saw untuk menghancurkan

patung-patung yang berada di KaÂbah. Nabi saw berkata

kepadaku, Duduklah! Lalu aku duduk di sisi Ka’bah.

Nabi kemudian menaiki pundakku dan berkata, Sekarang

bangunlah dengan membopongku ke atas. Aku pun berdiri

dan Nabi berada di atas pundakku. Ketika Nabi melihat

bahwa aku kelihatan tidak mampu menahan berat badannya,

beliau berkata, Duduklah dan turunkan aku! Aku duduk

dan Nabi turun dari pundakku. Nabi kemudian berkata,

Ali! Sekarang kau yang naik di atas pundakku. Kemudian

aku naik ke atas pundak Nabi. Lalu beliau berdiri dan aku

tetap di atas pundaknya. Aku berpikir seandainya aku ingin,

pasti tanganku dapat menyentuh langit. Kemudian aku

menaiki Ka’bah dan kutemukan patung yang paling besar di

atas atapnya. Patung itu terbuat dari tembaga yang dipaku

dengan besi. ÂBongkarlah dari tempatnya! Perintah Nabi.

Ketika aku sibuk membongkar patung itu dari tempatnya,

Nabi menyemangatiku dengan mengucapkan kata, Tarik,

tarik..., hingga akhirnya aku berhasil mencongkelnya.

Nabi memerintahkanku untuk menghancurkannya. Aku

memukul-mukulinya hingga hancur kemudian turun.

G. Ali di Perang Hunain

Nabi telah berhasil menguasai kota Mekah tanpa terjadi

pertumpahan darah. Penduduk Mekah -yang dalam hal ini

adalah Quraisy- menyerah kepada Nabi dan pasukannya.

Namun, kabilah Hawazin dan Tsaqif berkumpul dan

berkonspirasi menyerang Nabi dan pasukannya sebelum

mereka diserang. Ketika Nabi mendengar kabar ini, beliau

segera menyiapkan pasukan. Jumlah pasukan yang besar

membuat kaum Muslim menganggap remeh pertempuran

kali ini, kemudian keluar dari kota Mekah untuk berperang.

Jumlah pasukan kaum Muslim pada waktu itu 12.000

orang pasukan.

Ketika semakin mendekati pasukan musuh, Nabi

menyusun barisan mereka dan membagi-bagikan panji

perang kepada setiap komandan pasukan dan para

pimpinan kabilah. Nabi memberikan panji perang kaum

Muhajirin kepada Ali bin Abi Thalib. Kabilah Hawazin

mempersiapkan taktik perang menunggu sampai pasukan

kaum Muslim lengah. Mereka bersembunyi di ceruk-ceruk

di lembah Tihamah agar tidak ada tempat lari bagi yang

melewati jalan itu.

Saat kaum Muslim tiba di lembah Hunain, sekonyongkonyong

mereka diserang oleh pasukan Hawazin dari segala

arah. Bani Salim adalah yang paling menderita, karena

mereka berada di barisan terdepan. Pasukan Bani Salim

kalah dan kocar-kacir, kemudian diikuti oleh pasukan di

belakangnya. Allah Swt membiarkan kaum Muslim tanpa

pertolongan karena kesombongan mereka sendiri; melihat

jumlah pasukan mereka yang sangat besar. Pasukan yang

tinggal bersama Nabi hanya sedikit. Mereka dari Bani

Hasyim dan Aiman bin Ubaid.

Ali bin Abi Thalib yang masih tinggal melindungi

seperti orang kalap membabat pedangnya ke kiri dan ke

kanan. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati

Nabi. Siapasaja yang maju pasti tewas di tangan Ali. Sikap

Nabi yang masih tetap bertahan dan perlindungan Ali

membuat sebagian kaum Muslim yang kocar-kacir serasa

mendapat dukungan untuk tetap melanjutkan peperangan.

Mereka kembali menyusun barisan untuk menyerang balik

kabilah Hawazin.

Salah seorang jagoan Hawazin yang

biasanya dipanggil Abu Jarwal menuju kaum Muslim

sambil membawa bendera perang mereka. Sebagian pasukan

Muslim berusaha menyerangnya, tetapi mereka tidak

mampu. Lalu Ali maju berduel dengannya. Lagi-lagi, Ali

berhasil membunuh lawan duelnya.

Melihat kematian jagoan perangnya, kabilah Hawazin

mulai dirundung rasa takut. Sebaliknya, kaum Muslim

seperti mendapat tenaga baru malah menjadi bersemangat.

Kaum Muslim akhirnya berhasil mengalahkan kabilah

Hawazin beserta koalisinya. Selain banyak yang terbunuh,

banyak juga yang tertawan. Ali adalah yang terbanyak

membunuh musuh. Ia sendiri berhasil membunuh sekitar

40 orang dari pasukan musuh. Peran Ali jugalah yang

membuat kaum Muslim akhirnya berhasil keluar sebagai

pemenang dalam pertempuran yang sangat sulit ini.

H. Ali di Perang Tabuk

Nabi mendapat kabar bahwa kekaisaran Romawi

hendak menyerang kaum Muslim. Mendengar itu, Nabi

segera menyiapkan pasukan. Nabi menyiapkan segala

strategi jitu terkait dengan kualitas maupun kuantitas. Nabi

menyiapkan dirinya sebagai pemimpin terdepan mengingat

penting dan kritisnya peperangan kali ini. Akan tetapi,

situasi politik dan militer tidak memberikan ketenangan

yang sempurna untuk itu.

Di sisi lain, kaum munafik dan mereka yang suka

menebar fitnah di tengah kaum Muslim masih ada dan

banyak di Madinah. Sangat mungkin mereka akan

menggunting dalam lipatan dengan menguasai Madinah

atau melakukan tindakan-tindakan makar lainnya. Kondisi

yang demikian membuat Nabi harus berpikir keras untuk

menyiapkan seseorang di Madinah yang layak, mampu,

bijaksana dan benar-benar memahami kondisi ini. Seorang

yang betul-betul mampu menjaga akidah Islam sehingga

tahu apa yang harus dilakukan bila ada kejadian luar biasa.

Akhirnya, Nabi memilih Ali bin Abi Thalib sebagai orang

paling pantas menjadi penggantinya di kota Madinah.

Nabi saw berkata, „Wahai Ali! Madinah tidak layak

dipimpin kecuali oleh aku dan kau.

Saat untuk berangkat telah tiba. Nabi dan pasukan siap

menuju medan pertempuran. Kaum munafik merasa sulit

dengan ditetapkannya Ali bin Abi Thalib sebagai walikota

sementara kota Madinah pusat pemerintahan Islam.

Mereka tahu persis bahwa Ali tidak akan membiarkan

tangan-tangan yang tamak untuk begitu saja merusak apa

yang telah dibangun oleh Nabi. Untuk itu, mereka mulai

menyebarkan kabar burung tentang hal ini. Dalam setiap

kesempatan, mereka menyampaikan bahwa Nabi tidak

akan menugaskan seseorang menjadi walikota sementara

di Madinah kecuali ia pasti orang yang tidak disukai oleh

Nabi. Mereka berusaha menyebarkan kabar ini di tengah

masyarakat tentang Ali sebagaimana Quraisy dahulu pernah

melakukannya terhadap Nabi dengan mengatakannya

sebagai tukang sihir dan orang kesurupan jin.

Ketika isu-isu ini sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib,

ia berusaha bagaimana caranya membongkar konspirasi

kaum munafik. Kemudian ia mengambil pedangnya

berlari-lari mengejar Nabi untuk ikut dalam rombongan

pasukan. Setelah menemui Rasulullah saw, ia berkata,

„Wahai Rasulullah! Orang-orang munafik menganggap

bahwa engkau meninggalkanku di Madinah karena merasa

berat dan sudah tidak menyukaiku lagi. Rasulullah saw

berkata kepadanya, Kembalilah ke tempatmu! Madinah

hanya layak dipimpin olehku dan kau. Engkau adalah

khalifahku dari Ahlulbaitku, di tempat Hijrahku dan di

kaumku. Apakah engkau tidak rela, wahai Ali, posisimu

di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa? Hanya saja

sepeninggalku tidak ada lagi nabi.

Ali pun kembali ke Madinah sementara Rasul saw

melanjutkan perjalanannya.